Ad Unit (Iklan) BIG

Esai Bukan Sekedar Nasi Bungkus

Esai Bukan Sekedar Nasi Bungkus - Hallo sahabat Update Terkini, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Esai Bukan Sekedar Nasi Bungkus, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel esai, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Esai Bukan Sekedar Nasi Bungkus
link : Esai Bukan Sekedar Nasi Bungkus

Baca juga


Esai Bukan Sekedar Nasi Bungkus


Bukan Sekedar Nasi Bungkus

Adakah yang lebih wajar dari sekedar menabur garam pada nasi yang sama sekali tidak ada lauknya, sedang mereka sudah tiga hari tidak makan. Dari pada mencarikan ikan kakap panggang tapi uang tidak punya dan warungnya tidak tahu dimana lokasinya.

Terkadang, di satu sisi kita memang dituntut menyesuaikan dengan selera serta memperhatikan kandungan vitaminnya agar makannya lahap dan tidak menyebabkan penyakit. Namun pada sisi yang berbeda kita juga di tuntut untuk pura-pura nikmat walau harus makan masakan yang sudah dianggap basi demi menyambung hidup agar bisa melihat senyum seorang bocah di esok pagi.

Dari setiap perbedaan kita memang punya satu selera yang terkadang kita dipertemukan. Tapi dalam kondisi yang lain, pun kita tidak bisa menafikan kalau selera kita yang sama akan di paksa berbeda dengan alasan kondisi dan waktu. Dalam hal ini setiap kita sudah tidak bisa lagi saling menyalahkan selain hanya mengukurnya dengan kepantasan dan kewajaran. Apa boleh buat, sedang kebanyakan kita hanya bisa mengomentari ketika sudah melihat makanan basi masih di makan atau menyanjung makanan lezat yang sudah siap santap di atas meja. Selebihnya, kita tidak pernah mau tahu tentang peristiwa yang mengantarkannya pada posisi yang sedemikian.

Berangkat dari perihal inilah bahwa tidak ada yang betul-betul peduli pada diri kita selain kita sendiri. Seorang dokter hanya bisa memberikan resep makanan sehat tapi tidak dengan makanannya. Sebuah warung hanya bisa menawarkan beraneka ragam menu makanannya tapi tidak dengan gratis. Sebuah tong sampah hanya mempersilahkan siapa saja yang ingin mengais sisa-sisa makanannya tapi tidak dengan jaminan kesehatannya. Para ustad mungkin mampu memfatwakan ciri makanan yang halal tapi tidak mau tahu kondisi harga di warung. Ya, semua orang hanya bisa mengomentari sesuai selera jendela mereka masing-masing. Selanjutnya, kitalah yang lebih wajib mengomentari lalu menentukan harus makan apa kita hari ini.

Sekali lagi, mereka yang diluar kita hanya bisa bertepuk bangga ketika kita mampu hidup sehat dan bugar, pun sebaliknya mereka hanya bisa mengejek atau syukur-syukur mengasihani ketika keadaan perut kita busung dan lapar terlebih keadaan kita sudah compang-camping tak karuan.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Banyak, pada intinya suara hati lebih didahulukan dan jangan pernah menuhankan makhluk melebihi penghambaan kita pada Tuhan yang maha segalanya. Mulai dari hal yang paling sederhana. Ambil berasnya sesuai takaran konsumen, cuci hingga bersih sesuai tuntunan agama dan resep kesehatan. Kemudian, masak sesuai alat pemasak yang kita punya, bisa menggunakan kompor gas atau tungku. Dalam waktu memasak tentu kita punya strategi sendiri bagaimana caranya agar nasi yang dihasilkan bagus dan tidak gosong atau malah menjadi separuh matang. Setelah itu, nasi sudah siap dihidangkan tinggal menyiapkan lauknya. Lagi-lagi ini tergantung pada kreatifiatas kita mau enak, murah atau yang enak sekaligus murah. Pada akhirnya hal demikian kita terus lakukan, besok akan ada komentar yang masuk pada beranda kita. Ada yang bilang kita mandiri karena masak sendiri, ada yang berkata kita miskin karena hanya makan nasi seadanya tidak makan di restoran, ada yang bilang kita sederhana karena makannya seadanya, atau ada bilang kita tidak tahu diri karena waktu makan tidak menawarkan pada tetangga sekitar. Sudah biarkan saja. Orang diluar kita memang begitu tugasnya. Mengomentari setelah jadi saja.

Alhasil, nilai yang diberikan mereka diluar kita pada sejatinya bukan diri kita yang sebenarnya, karena mereka hanya mampu melihat pada sebilas pancaran efek yang kita lakukan saja, tidak dengan wujud nyatanya. Lebih penting dari itu semua, bagaimana kita bisa menjadikan komentar itu sebagai sabda untuk memperkokoh mental dan karakter dalam diri kita agar sebesar apapun godaan rasa, kita tidak akan tergoyah karena kita tahu bahwa itu pantangan dalam agama, ekonomi, politik serta cara berbangsa kita.

Sumedangan, 19 Februari 2020



Demikianlah Artikel Esai Bukan Sekedar Nasi Bungkus

Sekianlah artikel Esai Bukan Sekedar Nasi Bungkus kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Esai Bukan Sekedar Nasi Bungkus dengan alamat link https://re-plye.blogspot.com/2020/02/esai-bukan-sekedar-nasi-bungkus.html

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter